Pesan dari ibu.

9:42 PM

9 April 2020.

Hari kesekian karantina.

Sampai sudah lupa ini hari keberapa berada di rumah. Sudah lebih dari 2 minggu, rasanya. Bersyukurnya, ketika himbauan lockdown dan larangan berpergian keluar, kondisinya saat itu, pas sekali sedang berada di rumah (walau bukan untuk alasan yang menyenangkan, tapi toh ternyata memang Tuhan punya maksudNya sendiri).

Awalnya, saya pikir, dengan berada di kota kecil, akan membuat saya merasa lebih mudah untuk berdiam diri dan berada di rumah selama mungkin. Iya, apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa saya di rumah dan bersama keluarga (fyi, saya belum berkeluarga sendiri, jadi ketika maksudnya bersama keluarga, ya berarti bersama dengan orang tua). Memang, rasanya lebih enak, apa-apa pasti terpenuhi, tidurpun nyaman karena di kasur sendiri. Oh iya, orang tua saya tidak ikutan WFH atau diliburkan, yang ada malah semakin malam pulangnya. Tidak apa-apa, namanya juga bekerja, semoga niat dan upaya baiknya berbuah baik.

Nyatanya, berada di rumah selama hampir 24/7 lumayan membuat lelah. Saya sampai harus beralasan untuk membeli makanan kucing-kucing saya agar bisa keluar rumah, yang mana sekarang juga sudah tersedia jasa delivery, jadi memang lebih baik via delivery saja, begitu kata mamih. Hilang sudah salah satu alasan untuk keluar rumah.

Tidak berhenti di situ saja. Di era modern begini, hidup 24/7 di dalam rumah, pasti tidak jauh-jauh dari media sosial. Butuh kabar terbaru tentang bencana ini saja, ujung-ujungnya kembali lewat media sosial, walau memang masih ada media lain, tapi rasanya melihat update terbaru mengenai bencana ini sekalian melihat kabar teman, tidak ada salahnya bukan?

Kembali membahas media sosial, saya rasa di masa sekarang ini juga tidak sedikit berita buruk dan opini tidak mengenakan berkeliaran di media sosial. Tentang kabar bencana ini, terutama di Indonesia. Belum kinerja pemerintah yang dirasa jauh dari kata baik. Jika dulu orang menyampaikan kritiknya masih dengan cara yang halus dan sarkas, sekarang ini makin berani dan merasa harus didengar. Atau mungkin ini hanya timeline saya saja? Hmm, bisa jadi. Tapi bagi kalian yang memiliki timeline yang sama, saya rasa kita akan setuju bahwa ini melelahkan. Melihat kabar buruk, kritik pedas, dan masalah lainnya, jelas itu berpengaruh pada diri kita sendiri. Tidak bohong bahwa banyak energi negatif ketika membaca berita-berita tersebut. Entah dari ingin menyangkal opini yang ber-sliweran, entah ingin memperkuat opini yang ada, atau apapun itu.

Ingin menyalurkan energi negatif itu, tapi kepada apa? Atau siapa? Tapi, coba dipikirkan lebih lagi, kita saja yang tidak sengaja terpapar oleh energi negatif sudah merasa lelah dan ingin sesegera mungkin menyingkirkan energi negatif itu, atau dengan kata lain, tidak enak rasanya. Lalu, bukankah hal itu yang akan dirasakan objek penyaluran energi negatif kita? Apakah itu bijaksana? Apakah membuat keadaan membaik? Jawabannya, kembali kepada diri masing-masing.

Ah, menilik pada judul, saya tulis, pesan dari ibu. Lalu, hubungan di atas dengan pesan dari ibu apa? Hanya himbauan untuk memberli via delivery saja maksudnya?

Oh, tentu tidak, bahkan bukan itu poinnya. Begini, opini tidak mengenakkan, kritik pedas, atau apapun yang biasa kita lihat, sedikit banyak mempengaruhi kita, pola pikir dan opini kita, terhadap masalah tersebut. Kita bisa saja sama-sama menjadi memiliki opini atau pemikiran yang sama. Merasa bahwa apa yang kita pikirkan sudah pasti benar, sama seperti apa yang terjadi. Padahal, dalam suatu masalah, ada banyak sudut pandang. Saya sendiri merasa bahwa setidaknya ada 2 sudut pandang dalam suatu masalah. Satu yang saya rasa baik, satu yang saya rasa tidak baik. Apakah ada sudut pandang ataupun pola pikir lain? Pastinya ada, tapi apakah mungkin kita mengetahui semuanya? Jadi, setidaknya kita harus bisa mengira-ira 2 sudut pandang yang ada. Masalah apakah masalah tersebut bersifat salah atau benar, kembali lagi kepada pemikiran masing-masing, apakah memang lebih berat ke sudut pandang baik, atau sudut pandang tidak baik. Tapi, tidak ada salahnya kan kita menimbang dari 2 sisi sebelum langsung melompat pada sebuah kesimpulan?

Hal ini mengingatkan saya pada suatu hari ketika saya sedang berbincang-bincang dengan ibu saya. Ini diawali dari kebiasaan orang tua saya untuk membagi-bagikan makanan di hari Jumat. Awalnya, berbagi makanan ini dilakukan di bulan Ramadhan. Orang biasa menamakannya parcel, tapi makin ke sini saya rasa yang dibagikan bukan parcel.

Mungkin, semuanya berawal dari saya yang bahagia menerima parcel. Saya, bahkan sampai saya sudah setua ini, masih selalu senang kalau diberi parcel. Walau sudah pasti tahu isinya apa (karena parcel dibalut dengan palstik transparan) tapi ada sensasi tersendiri ketika membuka parcel. Sama ketika kita membuka paket dari barang belanjaan yang kita sendiri beli secara online. Saya kecil selalu merasa bahwa semua orang pasti suka diberi parcel. Pasti, karena saya juga senang. Jadi, apalagi yang bisa menandingi rasa senang ketika kita bisa berbagi parcel? Senang kan menjadi alasan orang lain senang?

Awalnya, benar-benar seperti parcel pada umumnya. Dibagikan di 7 hari terakhir puasa, isinya kue-kue kering, sirup, permen dan lain-lain. Namun, lama kelamaan, isinya berubah, menjadi barang kebutuhan pokok, seperti minyak, gula, telur, dan lain-lain. Saya kecil merasa itu tidaklah lagi seru. Apa-apaan. Tidak berwarna warni. Tidak ada kesan bahagianya. Tapi semakin besar saya mengerti, alasan orang tua saya mengubah isi parcel adalah karena kebutuhan pokok sudah pasti habis dikonsumsi. Dalam arti lain, pasti bergunanya. Sedangkan kalau parcel makanan manis, belum tentu dikonsumsi. Bahkan, kadang, setiap rumah sudah punya daftar makanan apa saja yang akan mereka hidangkan di ruang tamu masing-masing kan? Apalagi kalau yang memberi parcel ada banyak. Takutnya makanannya makin menumpuk, tidak termakan hingga kadaluwarsa. Niatnya berbagi agar bermanfaat, malah terkesan membuang rejeki. Tapi sekali lagi, ini opini keluarga kami. Kalau tradisi kalian membagikan parcel dalam bentuk makanan manis dan camilan, juga tidak apa-apa. Selama niatnya baik, untuk berbagi kebahagiaan misalnya. Itu juga bagus. Berbagi selalu berarti baik.

Kembali lagi, di cerita parcel. Parcel yang dibagikan juga tidak jauh-jauh. Hanya sebatas tetangga 1 RT. Hingga pada suatu hari, yang saya sendiri juga tidak tahu persisnya kapan, ibu kembali berbagi. Kali ini bukan kebutuhan pokok, tapi hanya nasi bungkus yang cukup untuk mengisi perut 1 orang. Bagi saya sih iya hanya 1 orang. Awalnya ibu memasak sendiri. Kata ibu, hitung-hitung belajar memasak juga, sembari berbagi. Ibu tidak jago memasak, tapi masakannya juga tidak buruk atau bahkan berbahaya bagi kesehatan. Aman.

Makanan ini dibagikan kepada beberapa orang secara acak tiap minggu. Lebih difokuskan kepada beberapa tukang becak dan penyapu jalan di pagi hari sih. Alasannya, karena mereka menjemput rejeki di pagi hari, belum tentu mereka sudah sarapan. Begitu. Kenapa di pagi hari? Karena masakan ibu matang pagi-pagi, selain itu, ibu bekerja hingga siang, kadang sore, bahkan malam. Jadi, pagi adalah waktu yang pas. Karena kesibukan ibu yang harus bekerja itu, terkadang, masih tersisa beberapa bungkus makanan yang belum terbagi, jadi meminta tolong kepada mbak yang membantu membersihkan rumah untuk membagikannya ke beberapa orang.

Hal ini tidak luput dari pandangan tetangga-tetangga sekitar. Mbak yang biasa berbelanja di tukang sayurpun mau tak mau menjadi perantara. Entah bagaimana, di saat hal ini terjadi, saya juga sedang ada di rumah. Menjadi salah satu pendengar kala siang itu mbak bercerita bahwa dia ditanyakan "kok aku gak kebagian sih?" oleh para tetangga. Saya yang saat itu masih muda (iya sekarang sudah tua), yang masih terpengaruh opini labil bahwa tetangga bisanya cuma kepo untuk menggunjing, dan segala macamnya, merasa sedikit marah. Berpikir bahwa, kenapa ya orang-orang bisa termakan iri hanya dengan satu bungkus nasi? Itu hanya 1 bungkus, yang kemungkinan hanya bisa dimakan 1 kali untuk 1 orang. Bukan 1 karung beras yang bisa menghidupi 1 keluarga untuk 1 minggu, seperti parcel sebelum-sebelumnya. Jujur, saya benar-benar tidak habis pikir. Kalau saat itu saya adalah pengambil keputusan, kemungkinan besar saya akan mencibir para tetangga dan berhenti membagikan makanan.

Masih tergambar jelas di ingatan saya, bagaimana santainya ibu ketika menanggapi itu. Ibu, sambil meminum teh buatannya yang enak sekali itu, berkata, itu tandanya kita masih dibutuhkan.

1 kalimat yang membuat saya terpaku.

Tandanya kita masih dibutuhkan.

Wow. Benar juga. Kenapa ya kita harus susah-susah berpikiran negatif kalau ada loh pikiran positif yang mungkin bisa kita jadikan fokus. Apakah kami benar-benar dibutuhkan? Mungkin jawabannya tidak juga, karena kembali lagi, ini hanya 1 bungkus nasi untuk 1 orang dalam 1 kali makan. Tapi, setidaknya itu membuat saya berhenti untuk berpikiran negatif dan menilai buruk keadaan lingkungan sekitar saya. Karena kembali lagi, pemikiran awal saya yang mengira bahwa mereka iri juga kan hanya spekulasi dan asumsi diri sendiri. Apakah benar? Ada 50% kemungkinan benar, ada 50% kemungkinan salah juga. Sama seperti pemikiran bahwa kami masih dibutuhkan. Ada kemungkinan benar, ada juga tidak. Setidaknya saya sudah berlaku adil terhadap pemikiran saya dengan mempertimbangkan setidaknya 2 sisi berseberangan. Jadi daripada efeknya buruk untuk saya ketika percaya bahwa mereka iri, saya lebih condong menuruti perkataan ibu. Toh efeknya baik. Saya tidak marah, dendam dan memiliki penilaian buruk terhadap tetangga saya, selain itu mempermudah kami untuk berbagi. Jadi tidak perlu repot-repot mengejar tukang becak atau penyapu jalan, karena di dekat kami juga sudah ada yang menerima.

Kalau ada yang bertanya apakah amalannya sama atau berbeda, jawabannya sepertinya biarkan itu jadi rahasia Tuhan dan malaikatNya. Berbuat baik dan berbagi saya rasa tidak perlu dihitung-hitung lebih besar yang mana. Semampunya. Toh Tuhan tidak pernah tidur, akan ada balasan untuk setiap perbuatan baik yang kita lakukan, baik kecil maupun besar.

Sepertinya pemikiran seperti ini berlaku tidak hanya untuk kehidupan bersosial secara langsung, tapi juga di media sosial. Jari kita segitu mudahnya menulis penilaian terhadap sesuatu yang mungkin saja, maksudnya tidak sesuai apa yang kita pikirkan. Karena kembali lagi, ada beberapa sudut pandang dalam suatu perkara, semaunya kembali kepada diri kita sendiri yang lebih condong ke pemikiran yang bagaimana. Semoga, kalaupun memang maksudnya tidak baik, kita masih bisa mengungkapkan pembetulan atau opini kita dengan baik dan berusaha sebaik mungkin untuk tidak melukai perasaan yang bersangkutan hanya karena beda pandangan.

Hmm, ini mengingatkan saya pesan ibu yang lain, jadi... sampai bertemu di pesan ibu yang lain ya? Semoga pesan ibu saya ini bisa juga bermanfaat buat kalian.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts